Hening Bergeming


Memikirkan mengenai “yang nyata” merupakan kesia-siaan, laksana “meraba-raba dalam kelamnya malam”. Kemudian, dengan hening bergeming atau sama sekali tidak merabainya, begitu menjadi tidak sia-sia? Sementara kenyataan adalah “kekisruhan kehidupan sungguh lestari”, dan dengannya menjadi “berkembang indah; berbuah manfaat”? Demikian ekspresi filsafati serupa, “Mengapa ada, daripada tidak ada sama sekali?”, sesungguhnya ialah pernyataan melampaui yang dipertanyakan.

Pertanyaan seperti “Apa yang nyata?” sebaiknya tidak memerlukan jawaban eksternal, dikarenakan inherentness. Bilamana ekspresi higher-level terjawab, maka menyatakan ketimpangan lower-level. Sebagaimana nyata adalah apa yang “ada” mengada, dan kapan pun tidak ada, karena yang “ada” tidak dalam ke-“ada”-an berada di mana pun! Sebagaimana yang “hidup” menghidup, dan kapan pun meninggal, karena yang “hidup” tidak dalam ke-“hidup”-an berkehidupan di mana pun! Sebagaimana yang “kisruh” mengisruh, dan kapan pun sejahtera, karena yang “kisruh” tidak dalam ke-“kisruh”-an berkekisruhan di mana pun! Pun, “Mengapa ada, daripada tidak ada sama sekali?”!

Kenyataan yang ada dan tidak ada; yang hidup dan mati ‘meninggalkan kehidupan’; yang kisruh dan damai ‘menyejahterakan’ menjadi tidak terelakkan sesaat dipertanyakan karena menyatakan hikmah saat “bagaimana dengan sang pewaris fauna” menjadi “mampu bergerak dengan kehendak bebas”. Kapan pun manusia bertanda tanya akan selalu terbelenggu dalam pilihan keadaan, kehidupan, dan kekisruhan. Dengan pilihan yang begitu bebas apa adanya sebaiknya mengubah kata tanya “Apa?” sebagai “Kapan?”, “Siapa?” sebagai “Di mana?”, dan “Mengapa?” sebagai “Bagaimana?”. Sehingga, bagaimanapun “Kapan kita berpikir?” ialah kenyataan kapan dan di mana pun senantiasa memikir!

Memikir untuk meniadakan rasa sakit. Namun, karena itu “rasa sakit”, maka tidak mungkin ini tiada. Mencoba meniadakan rasa emosional tertentu dengan “melulu acara asmara, muluk-muluk perkara pura-pura” akan menyatakan suatu fasad inherentness karena memilah-milih, alih-alih menghargai sebagaimana apa yang ada. Mengenai bagaimana kita sebaiknya bersikap dalam berekspresi, karena ketiadaan tidak mungkin tiada sebagaimana rasa sakit tidak mungkin tidak sakit kecuali fasad nilai.